Kamis, 03 Maret 2011

tugas sejarah lisan : laporan wawancara sejarah perang kemerdekaan di majenang, cilacap tahun 1945 - 1949




TUGAS INDIVIDU
LAPORAN WAWANCARA

Disusun sebagai tugas mata kuliah Sejarah Lisan
Dosen pengampu:       Prof. Wasino
Nina witasari, M.Hum




Oleh:
Nama               : Fajar P. Kinasih
NIM                : 3101407068
Rombel            : 01
Prodi               : Pendidikan Sejarah



JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
BIODATA NARA SUMBER
  1. Narasumber 1
Nama                           : Abdul Hadi
Tempat/ tanggal lahir  : Sambas, Kalimantan Barat, 5 Januari 1922
Alamat                                    : Jl. Yos Sudarso RT 03 RW 04 Majenang
Peran dalam peristiwa : Penginisiatif dan ketua umum berdirinya   Monumen Dharma Pusaka 1945
  1. Narasumber 2
Nama                           : R. Sabdo
Tempat/ tanggal lahir  : Majenang, Cilacap, 20 September 1925
Alamat                                    : Jl. Anggur desa Losari Majenang
Peran dalam peristiwa : Pejuang


TRANSKIPSI WAWANCARA
A.    Nara Sumber 1
PW      : Apa yang Bapak ketahui tentang Monumen Dharma Pustaka 1945?
NS       : Adanya Monumen Dharma Pusaka 1945 itu untuk mengenang perjuangan masyarakat Majenang. Setelah saya hijrah dari Semarang kesini (Majenang), di Semarang saya juga mangalami perjuangan pemuda-pemuda Semarang, setelah saya pindah kesini (Majenang), saya mendengar cerita kepahlawanan masyarakat Majenang untuk mempertahankan kemerdekaan, namun disini (Majenang) sepi-sepi saja, tidak ada bekas atau kegiatan apapun.
Pada suatu hari saya mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Mayor Rustam, Kapten Purnawirawan De Rohman, dan lain-lain. Saya mendengar sejarah perjuangan masyarakat Majenang, tetapi tidak ada kenangannya sama sekali (tetenger/monumen). Mereka menyerahkan semua pada Saya. Lalu Saya Kepala Desa, Tokoh Agama, Pengusaha, dan lain-lain. Alhamdulillah mereka hadir .Tempatnya di Kantor Kecamatan Majenang. Mereka menyerahkan pembangunan Monumen itu pada Saya.
Dana dan kegiatan dilakukan dengan gotong royong oleh masyarakat. Dari pihak TNI juga bersedia memberikan dana. Kemudian jadilah Monumen perjuangan masyarakat Majenang yang diresmikan oleh Bapak Lintang Waluyo.

PW      : Dapatkah Bapak jelaskan tentang peristiwa perjuangan masyarakat Majenang?
NS       : Dibangunnya Monumen tersebut tentu ada alasannya yaitu untuk mengenang perjuangan masyarakat Majenang. Dimana-mana waktu itu semua orang berjuang. Seperti di Semarang, waktu itu saya juga bergabung dengan Laskar Pemuda di Semarang. Ketika itu saya juga mengantarkan Dr. Karyadi untuk memeriksa air.
Ada cerita dari Mayor Rustam, bahwa di Majenang waktu itu ada pengumuman dari Gubernur Jawa Tengah, (kemudian Beliau menyuruh penulis membaca suatu brosur, yang pernah Beliau buat saat upacara perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 60), isinya sebagai berikut:
“Pengumuman Gubernur Propinsi Jawa Tengah, Mr. Wongsonegoro, bahwa mulai tanggal 19 Agustus 1945 pukul satu siang, berlakunya Pemerintahan RI di Semarang dengan pekik kemerdekaan pengibaran bendera merah putih dimana-mana. Para pemuda turun ke jalan-jalan terutama di jalan Bonjol (Jl. Pemuda, sekarang).
Di daerah Banyumas, gema kemerdekaan itu disambut dengan siap siaga, lebih-lebih setelah Residen Banyumas, Mr. Iskak tjokro Adisoerjo mengumumkan bahwa mulai tanggal 5 September 1945, berlaku pemerintahan RI di seluruh karesidenan Banyumas.
Tak kalah gemuruhnya, di kota Majenang Kabupaten Cilacap, pemuda-pemudanya sudah siap tempur. Pada pertengahan bulan September 1945 terjadilah penghadangan tehadap sepasukan kecil tentara Jepang, yang datang dari arah barat, dari Tasikmalaya, oleh puluhan pemuda dari desa sekitar desa Cigaru, Jenang, Pahonjean. Tentara Jepang itu menarik diri, kembali kearah barat. Tentara Jepang yang lolos, menyerah, dan dilucuti oleh TNI pimpinan Gatot Subroto di Purwokerto.
Setelah Majenang diduduki Belanda, banyak pemuda yang bergabung dengan Batalyon Soerono- SWK IV(Sub Where Kreise IV) pimpinan Mayor Soerono.
Empat tahun lebih mereka bergerilya, bertahan dengan gigih. Selain semangat pantang menyerah dan percaya pada kekuatan sendiri, alam pegunungan sekitar Majenang sangat mendukung, sukar dicapai tentara Belanda. Rakyat bersatu dan menyatu dengan para pemuda dan suplai makanan dari desa-desa cukup”.
Karena itulah saya membangun Monumen itu karena tidak ada sedikitpun tanda untuk mengenang perjuangan masyarakat Majenang.
Korban-korban ada yang ditemukan, ada juga yang hilang yaitu terdiri dari Laskar Rakyat, OPR, dan lain-lain. Nama-namanya nanti dapat dilihat di Monumennya. Sedih sekali, ada dua saudara yang diikat oleh Belanda ditepi sungai Cijalu lalu ditembak yaitu Bapak Bastian dan Dasman, yamg lain dihanyutkan.


PW      : Dalam peristiwa tersebut yang menyerang Belanda atau Jepang?
NS       : Jepang itu hanya menumpang saja, yang menyerang itu Belanda. Belanda masuk, lalu disambut rakyat, tapi kemudian rakyat lari sampai ke Karang Sarun. Dipimpin oleh pak Soerono, waktu itu beliau belum Jendral, masih Letnan. Akhirnya Majenang diduduki Belanda.

PW      : Apakah ketika pembangunan Monumen tersebut Bapak Jendral Surono masih hidup?
NS       : Iya masih hidup. Namun beliau tidak datang saat peresmian, yang mewakili Mayor Rustam. Dulu tiap tahun diadakan napak tilas, tapi sekarang sudah tidak.

PW      : Bukankah Bapak tidak ikut serta secara langsung dalam peristiwa perjuangan ini, lalu darimanakah Bapak mengetahui tentang peristiwa ini?
NS       : Saya tahu dari pejuang-pejuang Majenang, dari Mayor Rustam, Bapak De Rohman. Setelah mendengar, saya menyelidiki, tanya-tanya.

PW      : Pak Soerono ini sebenarnya siapa?
NS       : Soerono ini seorang Jendral dari Cilacap. Dia seorang Jendral besar. Makamnya di Cilacap, di pemakaman Karang Suci.

PW      : Bagaimana hasil dari perjuangan masyarakat majenang ini?
NS       : Masyarakat Majenang dapat merebut kembali. Belanda mundur. Kemudian tahun 1949 kemerdekaan Indonesia diakui. Ketika itu masyarakat Majenang langsung menaikan bendera merah putih dan membawa bendera keliling kota Majenang sebagai tanda kemenangan. Startnya dari Jl. Banteng.

PW      : Berapa pejuang yang ikut serta dalam perjuangan ini?
NS       : Banyak, sampai puluhan lebih. Sebagian yang ditemukan dimakamkan di makam pahlawan, yang namanya juga dicantumkan.

PW      : Siapa pemimpin perjuangan ini sejak awal?
NS       : Jendral Soerono, sampai Belanda mundur.

PW      : Kenapa monumen ini diberi nama Dharma Pusaka 1945?
NS       : Dharma itu berarti Bhakti, Pusaka itu berarti tanah air. Jadi intinya wujud bakti kepada tanah air. Yang memberi nama bapak Soerono.


Keterangan
PW      : Pewawancara
NS       : Narasumber

B.     Narasumber 2
Nara sumber 2 tidak dapat diwawancara karena alasan tertentu, beliau hanya memberikan catatan kecil pada penulis yang beliau tulis untuk dibacakan pada saat malam tasyakuran dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke 58, yang isinya sebagai berikut:
         Pada tahun 1945 sampai dengan 1946 keadaan masyarakat Majenang masih dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Namun persiapan-persiapan untuk menghadapi sewaktu-waktu ada penyerangan dari pihak Belanda ke Majenang tetap ada. Sehingga pada waktu itu di Majenang dengan adanya organisasi kepemudaan dan perjuangan lainnya:
1)      PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) dibawah pimpinan Bp. R. Soepartono
2)      GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) dibawah pimpinan Bp. R. Soebadjo dan Bp. L. Daroni
3)      HISBULAH dibawah pimpinan Bp. Soewandi
4)      Biro Perjuangan dibawah pimpinan Bp. Wimbosoeyitno dan Bp. Soedartojo
5)      Barisan Banteng dibawah pimpinan Bp. Soetaryo dan Bp. Urip Zaenal Abidin
Telah mempersiapkan diri untuk mengadakan perlawanan sewaktu-waktu Belanda ke Majenang.
      Dengan persiapan-persiapan tersebut, masyarakat Majenang dikejutkan oleh berita-berita dari radio, bahwa Bandung telah menjadi lautan api dan Ambarawa menjadi palagan perang. Surabaya pecah, terjadi perang, maka pemuda-pemuda Majenang dikirim sebagai bala bantuan oleh organisasinya masing-masing untuk ikut serta membantu kawan-kawannya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
      Sepulangnya dari daerah pertempuran, maka kita semua masyarakat Majenang mengadakan persiapan-persiapan lagi, mengingat kemungkinan besar Majenangpun akan mengalami seperti halnya daerah-daerah lain. Maka dibawah komando Bp. Brotosewoyo, pimpinan-pimpinan organisasi perjuangan supaya mengirimkan anggotanya untuk bergabung menjadi satu, dan kemudian dibagi ke pos-pos pertahanan di Karangpucung, Cikukun. Saya sendiri bersama-sama dengan Bp. Urip Zaenal Abidin dengan membawa satu regu anak buah ke Cikukun.
      Tidak lama kemudian ada berita bahwa Banyumas/Purwokerto dan Cilacap sudah jatuh ketangan Belanda. Rakyat Majenang waktu itu sudah bersiap-siap menunggu perintah. Tidak lama kemudian dikejutkan dengan masuknya Bapak Rasiden Banyumas dan Bupati Cilacap dengan stafnya ke Majenang. Oleh karena itu, sebagian pemuda dari organisasi perjuangan banyak yang ditarik mundur untuk kembali ke induk organisasinya masing-masing dengan perintah mempertahankan kota Majenang dan sekitarnya.
      Selanjutnya disusul dengan adanya berita, bahwa pasukan Belanda akan memasuki Majenang melalui Wangon, Jeruklegi, dan Maluwung, kemudian terus ke Wanareja, sehingga pos pertahanan kita yang berada di Cikukun banyak yang terjebak dan terperangkap, dan kemudian jiwanyapun melayang dihabisi di sungai Cikawung.
      Kemudian dari Cikukun, Belanda mambabi buta menembakan senjata-senjata beratnya kearah Majenang. Namun jatuhnya kebanyakan di pasar Benda, desa Cilopadang, sehingga menewaskan seorang penduduk bernama Bohari. Akan tetapi kota Majenangpun tidak luput dari sasaran pengeboman dan tembakan secara mambabi buta dari udara, dan dua bom sempat jatuh dan meletus di depan SMP Islam Majenang (sebelah barat jalan) dan di perempatan alun-alun Majenang.
      Dengan situasi dan kondisi yang demikian, maka sudah pasti kita tidak bisa berlama-lama berada di kota, akhirnya Bapak Brotosewoyo selaku komando dan pengendali keamanan di kota Majenang, memerintahkan untuk mengadakan rintangan di jalan-jalan besar yang memungkinkan akan dilalui oleh pihak Belanda dan politik Bumi Hangus. Maka bulan Juli 1947 pada kurang lebih pukul 17.30 terjadilah “bumi hangus” di kota Majenang, dengan sasran utamanya adalah:
1)      Pesanggrahan
2)      Pegadaian
3)      Kawedanan
4)      Rumah-rumah Sdr. Oey Kim Tjin yang digunakan untuk markas organisasi parjuangan, dan pompa bensin serta garasi yang isinya penuh dengan barang-barang berharga.
         Kemudian pada malam harinya kita para pejuang kemerdekaan RI meninggalkan kota Majenang, untuk menuju ke Pegunungan dan mencari tempat yang strategis, antara lain:
1)      Cikadu Landeh
2)      Cikadu Tonggoh
3)      Lamping
4)      Sadahayu
5)      Wangen
6)      Sadabumi
7)      Ujungbarang
8)      Boja
9)      Dan lain-lain
Selanjutnya ditempat itu para pemimpin mengatur strategi dan menyusun pemerintahan darurat dengan pusat pemerintahan bertempat di Karang Sari.
Dengan tersusunnya pemerintahan darurat maka kita mengadakan perlawanan secara bergerilya, walaupun banyak kendalanya. Sehingga kawan-kawan di kota mengadakan perlawanan di bawah tanah yang menjadi korban keganasan Belanda antara lain:
-        Bpk. Soedjadi
-        Bpk. Tjastiyan
-        Bpk. Marali
-        Dan lain-lain
         Setelah masuknya batalyon Soerono ke Majenang maka susunan pemerintahan baik sipil maupun militer disempurnakan sehingga selalu mendapatkan informasi-informasi situasi musuh di wilayah Majenang dan sekitarnya, yang didukung oleh pos-pos perlengkapan yang menyusup ke daerah pendudukan Belanda dengan membantu mengirimkan pakaian, bahan makanan, obat-obatan untuk kebutuhan kita semua para pejuang.
         Tempat pengumpulan bantuan tersebut di toko Sdr. Fam Kie Hen, dengan penghubungnya adalah Sdr. Lie Toeng Min alias Moch Soleh, sedang yang lain antara lain, Sdr. Kho Wie hin, Sdr. Liem Foet Sen, Sdr. Liem Yoen Tik, Sdr. Lie Yung Phie yang berusaha untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan oleh gerilyawan.
         Oleh karena itu, pemerintah darurat sipil RI maupun pemerintahan darurat militer dapat berjalan dengan baik.
Pemerintahan darurat sipil RI di daerah gerilya antara lain:
1)      Bupati darurat          : Bpk Kardi
2)      Wedono                    : Bpk. R. Soekardo
3)      Camat                      : Bpk. R. Samdani
         Menjelang pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, maka sebelumnya dilaksanakan penyerahan Pamong Praja dari Wedana Parto (REKOMBA) kepada Wedana Sukardo (RI) dengan didahului Komando SWKS IV Bapak Mayor Soerono, keliling kota Majenang (naik Jeep terbuka) disamput oleh masyarakat sepanjang jalan raya yang dilalui (tanggal 25 November 1949) disusul penyerahan kekuasaan militer Belanda kepada Kompi R. Awal / Seksi Shudarno di markas Belanda Wanareja tanggal 13 Desember 1949.

LAMPIRAN
Gb. 1.1
Monumen Dharma Pusaka 1945
Tampak Depan
Gb. 1.2
Monumen Dharma Pusaka 1945
Tampak Samping
Gb 1.3
Monumen Dharma Pusaka 1945
Tampak Belakang
Gb 1.4
Prasasti/ kilas peristiwa
Gb 1.5
Daftar Pejuang yang Meninggal
Gb 1.6
Relief Monumen

Gb 1.7
Pelaksanaan wawancara
Gb 1.8
Pelaksanaan wawancara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar